Surabaya, Indonesiajayanews.com – Di tengah gencarnya transformasi digital pemerintahan, satu aset berharga semakin patut diberi perhatian: pengetahuan institusional. Ketika aparatur sipil negara (ASN) berpindah tugas, pensiun, atau berganti posisi, pengetahuan yang mereka bangun melalui pengalaman, intuisi, dan jejaring profesional berisiko hilang jika tidak dikelola secara sistematis.
Di sinilah manajemen pengetahuan (knowledge management/KM) memainkan peran krusial dalam menjamin keberlanjutan birokrasi.
KM bukan sekadar penyimpanan arsip, melainkan proses strategis yang mencakup penciptaan, dokumentasi, diseminasi, dan pemanfaatan pengetahuan untuk memperkuat kinerja dan pengambilan keputusan.
Semakin banyak negara menyadari bahwa birokrasi modern tidak hanya butuh sistem digital yang canggih, tetapi juga ekosistem pengetahuan yang hidup dan terkoneksi.
Teknologi seperti AI, big data, cloud computing, dan blockchain membuka peluang besar untuk menciptakan birokrasi yang adaptif dan berbasis pengetahuan. Melalui platform seperti SPBE dan Satu Data Indonesia, pemerintah memiliki potensi untuk menata kembali arsitektur informasi lintas sektor dan wilayah secara kolaboratif.
Namun, teknologi saja tidak cukup tanpa kehadiran aktor yang mampu menjembatani antara data, konteks, dan nilai organisasi.
Dalam lanskap global, muncul kebutuhan mendesak akan kehadiran tenaga profesional informasi—mereka yang tidak hanya memahami struktur data, tetapi juga mampu menafsirkan, mengkurasi, dan mengalirkan pengetahuan secara tepat guna. Di negara-negara maju, peran ini dijalankan oleh information specialists, knowledge architects, dan digital curators yang bekerja lintas disiplin: dari pemerintahan, industri, hingga organisasi internasional.
Mereka memainkan peran strategis dalam mencegah hilangnya pengetahuan institusional sekaligus memastikan proses pembelajaran organisasi berjalan secara berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia, potensi serupa mulai terlihat. Seperti yang disampaikan oleh Melati Purba Bestari, S.Sos., Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Timur, para profesional informasi kini tidak lagi terbatas pada peran administratif, mereka dituntut menjadi agen literasi kecerdasan buatan, mitra riset yang kredibel, sekaligus pencetus inovasi yang berdampak sosial,” tuturnya
“Mereka harus mampu menunjukkan bahwa informasi bukan sekadar tumpukan data, tetapi fondasi bagi pengambilan keputusan dan keberlanjutan institusi,” ujarnya
Pernyataan ini memperkuat gagasan bahwa profesi informasi harus dilihat sebagai infrastruktur intelektual birokrasi. Ia tidak kalah penting dibanding infrastruktur fisik atau sistem aplikasi. Tanpa pengelolaan pengetahuan yang terintegrasi, birokrasi digital hanya akan menjadi cangkang kosong—rapi di permukaan, tapi rapuh di dalam.
Kini saatnya pemerintah menempatkan manajemen pengetahuan sebagai fondasi utama reformasi digital. Bukan pelengkap, melainkan pusat gravitasi dari setiap kebijakan yang ingin berkelanjutan. Sebab jika pengetahuan adalah harta karun birokrasi, maka KM adalah peta untuk menggali, merawat, dan mendistribusikannya. Dengan dukungan kebijakan yang progresif dan kehadiran profesional yang tepat, birokrasi Indonesia tidak hanya akan bertransformasi secara digital, tetapi juga secara intelektual. (Red)