Pendidikan

Mutasi Hepatitis B dan SARS-CoV-2 Jadi Sorotan Guru Besar Unair

1898
×

Mutasi Hepatitis B dan SARS-CoV-2 Jadi Sorotan Guru Besar Unair

Sebarkan artikel ini

Surabaya, Indonesiajayanews.com – Tantangan kesehatan global beberapa tahun kebelakang menjadi tantangan tersendiri bagi dunia medis. Perkembangan Virus Hepatitis B dan kemunculan berbagai varian SARS-CoV-2 jadi perhatian bagi akademisi dan praktisi dalam perubahan genetik suatu virus.

Mutasi virus menyebabkan perubahan genetik menjadi varian berbeda sebagai adaptasi lingkungan untuk bertahan hidup dalam kondisi sulit seperti. Seperti melawan obat maupun sistem kekebalan tubuh inang. Akibatnya timbul penyakit yang lebih mudah menular, lebih sulit disembuhkan, atau tidak lagi efektif tertangani menggunakan vaksin yang tersedia.

Prof Dr Juniastuti dr MKes SpMK Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) memberikan perhatian terhadap dua jenis virus. Pertama adalah virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati. Sekarang VHB memiliki sepuluh jenis genotipe dan 40 sub genotipe yang tersebar secara global. Setiap jenis memiliki karakteristik berbeda. Beberapa mutasi tertentu, seperti A1762T/G1764A dan G1896A membuat virus menjadi lebih agresif. Kerusakan hati yang lebih parah berubah menjadi sirosis dan kanker hati. Bahkan mutasi lain membuat virus kebal terhadap obat antivirus.

“Misalnya, mutasi pada bagian YMDD dikenal luas menyebabkan resistensi obat lamivudin, salah satu terapi standar untuk hepatitis B,” ungkapnya, di Surabaya, Jumat(13/6/2025).

Kedua adalah SARS-CoV-2 yang merupakan penyebab COVID-19. Pandemi yang terjadi beberapa tahun silam menjadi wujud nyata dampak luas akibat mutasi virus. Dalam kurun lima tahun saja varian bernama Alpha, Beta, Delta, dan Omicron telah muncul. Varian Omicron jauh lebih mudah menular dibandingkan varian Delta dengan gejala cenderung lebih ringan. Namun, mutasi menyebabkan alat tes maupun vaksin yang awalnya efektif menjadi kurang optimal. “Vaksin booster belum cukup kuat melawan subvarian terbaru Omicron. Karena itu, ilmuwan sedang mengembangkan vaksin generasi baru yang lebih sesuai dengan varian yang beredar,” tuturnya.

Oleh karena itu, deteksi varian virus harus menjadi bagian penanganan penyakit menular. Dukungan dari pemerintah dan pemangku kebijakan sangat vital dalam pemeriksaan molekuler untuk deteksi varian cenderung mahal. Terlebih lagi untuk penyakit yang sedang mewabah atau berpotensi menjadi pandemi. Langkah tersebut bukan hanya menyelamatkan individu, tetapi juga melindungi masyarakat luas. “Dengan deteksi dini dan penanganan tepat, kita bisa menekan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular, serta berkontribusi pada pencapaian target kesehatan global tahun 2030,” tutupnya. (Arifin/Kominfo)